Kontrak bagi hasil merupakan terjemahan dari istilah production sharing contract (PSC). Istilah kontrak production sharing ditemukan dalam pasal 12 ayat 2 Undang-undang No. 8 tahun 1971 tentang pertamina jo Undang-undang nomor 10 tahun 1974 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 8 tahun 1971 tentang Pertamina. PERTAMINA menjadi pemegang kuasa pertambangan atas seluruh wilayah hukum pertambangan Indonesia, sepanjang mengenai pertambangan migas. Dalam pelaksanaannya PERTAMINA yang kurang modal dan teknologi dimungkinkan bekerjasama dengan pihak lain dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan migas dalam bentuk contrak production sharing (pasal 12 UU Pertamina).
Sementara itu dalam pasal 1 angka 19 Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, istilah yang digunakan adalah dalam bentuk kontrak kerjasama. kontrak kerjasama ini dapat dilakukan dalam bentuk kontrak bagi hasil atau bentuk kerjasama lainnya.
Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) merupakan model yang dikembangkan dari konsep perjanjian bagi hasil yang dikenal dalam hukum adat Indonesia. Konsep perjanjian bagi hasil yang dikenal dalam hukum adat tersebut telah dikodifikasikan dalam undang-undang No. 2 tahun 1960. Menurut undang-undang tersebut pengertian perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama apapun juga yang diadakan antara pemilik pada satu pihak dan seseorang atau badan hukum pada lain pihak yang dalam hal ini disebut penggarap, berdasarkan perjanjian mana diperkenankan oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah pemilik, dengan pembagian hasil antara kedua belah pihak. Konsep inilah yang kemudian dikembangkan menjadi Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) untuk usaha pertambangan minyak dan gas bumi.
Istilah kontrak kerjasama menurut ketentuan Undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang minyak dan gas bumi adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Ketentuan dalam pasal ini tidak khusus menjelaskan pengertian kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract), tetapi difokuskan pada konsep kerjasama dibidang minyak dan gas bumi. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi tidak menjelaskan pengertian Kontrak Bagi Hasil (Production sharing contract), namun pengertian kontrak bagi hasil (Production sharing contract) dapat kita temukan dalam pasal 1 angka 1 PP Nomor 35 Tahun 1994 tentang syarat-syarat dan pedoman kerja sama kontrak bagi hasil minyak dan gas bumi. Kontrak bagi hasil (Production sharing contract) menurut ketentuan tersebut adalah “kerjasama antara Pertamina dan kontraktor untuk melaksanakan usaha eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi berdasarkan prinsip pembagian hasil produksi.”
Kontrak bagi hasil (Production sharing contract) dalam pengusahaan pertambangan Migas dirancang sedemikian rupa untuk mengatasi permasalahan keterbatasan modal, teknologi dan sumberdaya manusia khususnya Pertamina dalam menjalankan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan minyak dan gas bumi. Berdasarkan ketentuan pasal 6 ayat 1 dalam Undang-undang Nomor 22 tahun 2001, pengusahaan pertambangan minyak dan gas bumi khususnya sektor kegiatan usaha hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui kontrak kerjasama.
Kontrak kerjasama yang dimaksud menurut ketentuan pasal 1 ayat 19 Undang- Undang tersebut adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerjasama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berdasarkan ketentuan tersebut maka kerjasama dalam bidang minyak dan gas bumi dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
- Kontrak Bagi Hasil (Production sharing contract);
- Kontrak-kontrak bentuk lainnya;
Ketentuan tersebut dipertegas dalam pasal 11 ayat 1 yang mengharuskan setiap kegiatan usaha hulu dalam pertambangan minyak dan gas bumi dilaksanakan oleh badan usaha atau badan usaha tetap berdasarkan kontrak kerjasama dengan Badan Pelaksana. Sehingga jika ada pengusahaan pertambangan migas tanpa didasari Kontrak Kerjasama dengan Badan Pelaksana maka dapat dikatakan sebagai ilegal. Ancaman hukumannya secara tegas dituangkan dalam ketentuan pasal 52, yang manyatakan bahwa setiap orang yang melakukan eksplorasi dan atau eksploitasi tanpa mempunyai kontrak kerjasama dengan Badan Pelaksana dapat dikenakan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp. 60.000.000.000,- (enam puluh milliar rupiah).
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.