Ketua Umum Indonesia Mining Associatioan (IMA) Martiono Hadianto meminta pemerintah menjalankan UU Minerba No. 4 tahun 2009 dengan baik. Dalam UU berisi tentang aturan larangan ekspor mentah minerba dari Tanah Air, namun pada prakteknya tidak berjalan dengan baik.
Namun di satu sisi pemerintah tidak memberikan insentif smelter (pabrik yang mengolah bahan mentah jadi bahan setengah jadi) kepada pengusaha Pertambangan mineral. Hal ini terkait keinginan pemerintah mineral batubara dalam mengoptimalkan nilai tambah dengan membuat aturan membangun pemurnian di dalam smelter.
Kalau smelter tidak dibuat, para pengusaha tak boleh mengeskpor produksinya. Hal itu bertolak membuat situasi yang sangat tidak menguntungkan bagi pengusaha Pertambangan khususnya mineral. "Kalau mau dukung nilai tambah, tolong bantu kami di sektor infrastrukturnya," ujar Martiono di jumpa pers Komite Kerja Lintas Asosiasi Pertambangan, Senin (15/4/2013)
Martiono berharap, peran pemerintah dalam menerbitkan beleid untuk nilai tambah sektor tambang, perlu didukung dengan kebijakan lintas sektoral yang meningkatkan infastruktur di dalamnya. "Sampai saat ini kita tidak melihat pemerintah ke arah sana untuk membantu kami," ungkap Martiono.
Selain itu Martiono menilai pemerintah membuat pusing sektor industri petambangan. Pasalnya di satu sisi harus menjalankan amanat, namun di sisi lain industri dan infastrukturnya belum ada yakni dalam membangun smelter. "Pemerintah itu buat aturan tapi kewajibannya tidak dijalankan," ungkap Martiono.
Sejumlah asosiasi pertambangan di Indonesia bersatu untuk mendesak pemerintah segera mengeluarkan peraturan-peraturan teknis lintas kementerian untuk memberikan kepastian usaha dalam sektor pertambangan mineral dan batubara (Minerba).
Pernyataan itu dikeluarkan oleh 7 asosiasi minerba yang tergabung dalam Komite Kerja Lintas Asosiasi Pertambangan (KKLAP) dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (15/4). Di antaranya adalah Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo), Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA), Asosiasi Pertambangan Indonesia (API-IMA), dan Masyarakat Geologi Ekonomi Indonesia (MGEI).
Diungkapkan Poltak Sitanggang, Ketua Apemindo, ada puluhan masalah yang dihadapi oleh para anggota asosiasi yang dipicu oleh pelaksanaan UU 4/2009 tentang Minerba, yang ujungnya merugikan bangsa Indonesia.
Beberapa yang perlu dipermasalahkan adalah belum harmonisnya peraturan lintas kementerian teknis yang mendukung kegiatan eksplorasi, konstruksi, produksi, jasa usaha pertambangan, dan pengiriman hasil produksi.
Misalnya, UU otonomi daerah belum dilaksanakan dengan baik terkait dengan pertambangan minerba. Hal ini masih ditambah benturan kewenangan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat sebagai akibat penerapan otonomi daerah, kata Poltak.
Dia menekanakan, masalah-masalah demikian menghambat gerak dan dinamika pelaku usaha pertambangan dalam mengembangkan amanat UU Minerba.
"Karenanya, kami harap pemerintah tegas mengeluarkan peraturan pelaksanaan lintas kementerian yang menjamin kepastian hukum dan kepastian berusaha. Aturan harus komprehensif, jelas, menjamin terlaksananya komunikasi antarinstansi sehingga mendukung kegiatan usaha pertambangan minerba," jelas Poltak.
KKLAP juga meminta pemerintah segera melakukan evaluasi dan pembenahan yang menyeluruh terhadap pelaksanaan UU Otonomi Daerah yang berkaitan dengan usaha pertambangan minerba.
"Agar pelaksanaan kebijakan peningkatan nilai tambah dapat berjalan dengan baik, maka perlu segera membangun dan menyediakan infrastruktur, energi, menerbitkan kebijakan insentif fiskal, serta keleluasaan pada pelaku indistri pertanbangan mineral," tandasnya.
Di tempat yang sama, Ketua APBI-ICMA Bob Kamandanu menyatakan satu hal lain yang harus dibenahi pemerintah adalah mengenai mekanisme dan transparansi renegosiasi Kontrak Karya dan PKP2B, yang disebabkan adanya pertentangan antara beberapa pasal di UU 4/2009.
"Ini sebaiknya segera ada terobosan kebijakan, mekanisme, dan transparansi negosiasinya," kata Bob.
"Segera juga ditetapkan wakil pemerintah yang berhak menetapkan keputusan final dalam renegosiasi KK," lanjutnya.
Koordinator KKLAP Irwandy Arif menyatakan, sebaiknya pemerintah juga melibatkan asosiasi pelaku usaha minerba secara intensif dalam menyusun kebijakan.
Dia mengaku, pihaknya akan menyerahkan semua substansi pernyataan bersama mereka itu ke instansi pemerintah, termasuk Istana Kepresidenan, dalam bentuk white paper.
Belum ada kejelasan Wilayah Pertambangan (WP) di daerah, membuat Komisi VII DPR RI melakukan kunjungan kerja di beberapa wilayah di Indonesia, salah satunya di Jawa Timur.
Saat di Surabaya, rombongan ini diterima oleh Wakil Gubernur Jatim, Saifullah Yusuf di kantor Gubernur Jatim, Senin (15/4/2013).
Usai melakukan pertemuan, Saifullah Yusuf atau biasa dipanggil Gus Ipul mengungkapkan belum ditetapkannya WP membawa dampak terhadap pembangunan infrastruktur di Jatim.
Sebab ini mengakibatkan bupati/walikota tidak bisa menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) sehingga menghambat pengusaha dalam memasok kebutuhan-kebutuhan pembangunan yang semakin melonjak tinggi, contohnya pembangunan jalan tol.
“Jalan tol ini memerlukan banyak sekali bahan pertambangan, seperti batu-batuan. Jika WP tidak ditetapkan, maka dikhawatirkan akan muncul hal-hal yang merugikan, yaitu semakin banyaknya penambangan liar” katanya.
Mantan menteri PDT ini menambahkan, kebutuhan bahan pertambangan yang semakin tinggi disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi Jatim yang dalam tiga tahun terakhir terus meningkat dan berada diatas rata-rata nasional.
Hal ini mengakibatkan banyak investor baik asing maupun dalam negeri yang tertarik menanamkan modal dan membangun pabrik di Jatim. Sehingga daerah-daerah industri di Jatim semakin bertambah, seperti di Jombang dan Mojokerto.
“Karena itu, kami harap dengan kunjungan Komisi VII DPR RI dapat mempercepat penetapan WP agar pembangunan-pembangunan di Jatim, khususnya industri semakin lancar,” tambahnya.
Sementara itu, Anggota Panja Minerba Komisi VII DPR RI Asfihani mengatakan, permasalahan WP merupakan hal yang sangat dinantikan oleh seluruh kepala daerah di Indonesia.
Oleh sebab itu, dalam dua tahun terakhir, pihaknya terus menggodok permasalahan tersebut bersama berbagai pihak terkait, yaitu kementrian ESDM dan Dirjen Mineral dan Batu bara untuk merumuskan penetapan WP, khususnya batu-batuan.
“Hasilnya, WP untuk batu-batuan telah ditetapkan dengan berbagai syarat yang harus dipenuhi. Sebab batu-batuan merupakan kebutuhan yang mendesak secara nasional. Sedangkan WP untuk mineral dan batu bara akan menyusul” ujarnya.
Sebagai tindak lanjutnya, ia meminta Wagub Jatim agar menyampaikan kepada bupati/walikota di Jatim untuk menerbitkan ijin setelah mendapat rekomendasi dari kementrian ESDM.
“Pengelolaan sumber daya alam tidak boleh dieksploitasi berlebihan karena berdampak pada lingkungan dan masa depan anak-anak kita. Saya himbau agar bupati/walikota untuk meminta rekomendasi WP sesuai kebutuhan” tegasnya.
Namun di satu sisi pemerintah tidak memberikan insentif smelter (pabrik yang mengolah bahan mentah jadi bahan setengah jadi) kepada pengusaha Pertambangan mineral. Hal ini terkait keinginan pemerintah mineral batubara dalam mengoptimalkan nilai tambah dengan membuat aturan membangun pemurnian di dalam smelter.
Kalau smelter tidak dibuat, para pengusaha tak boleh mengeskpor produksinya. Hal itu bertolak membuat situasi yang sangat tidak menguntungkan bagi pengusaha Pertambangan khususnya mineral. "Kalau mau dukung nilai tambah, tolong bantu kami di sektor infrastrukturnya," ujar Martiono di jumpa pers Komite Kerja Lintas Asosiasi Pertambangan, Senin (15/4/2013)
Martiono berharap, peran pemerintah dalam menerbitkan beleid untuk nilai tambah sektor tambang, perlu didukung dengan kebijakan lintas sektoral yang meningkatkan infastruktur di dalamnya. "Sampai saat ini kita tidak melihat pemerintah ke arah sana untuk membantu kami," ungkap Martiono.
Selain itu Martiono menilai pemerintah membuat pusing sektor industri petambangan. Pasalnya di satu sisi harus menjalankan amanat, namun di sisi lain industri dan infastrukturnya belum ada yakni dalam membangun smelter. "Pemerintah itu buat aturan tapi kewajibannya tidak dijalankan," ungkap Martiono.
Sejumlah asosiasi pertambangan di Indonesia bersatu untuk mendesak pemerintah segera mengeluarkan peraturan-peraturan teknis lintas kementerian untuk memberikan kepastian usaha dalam sektor pertambangan mineral dan batubara (Minerba).
Pernyataan itu dikeluarkan oleh 7 asosiasi minerba yang tergabung dalam Komite Kerja Lintas Asosiasi Pertambangan (KKLAP) dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (15/4). Di antaranya adalah Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo), Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI-ICMA), Asosiasi Pertambangan Indonesia (API-IMA), dan Masyarakat Geologi Ekonomi Indonesia (MGEI).
Diungkapkan Poltak Sitanggang, Ketua Apemindo, ada puluhan masalah yang dihadapi oleh para anggota asosiasi yang dipicu oleh pelaksanaan UU 4/2009 tentang Minerba, yang ujungnya merugikan bangsa Indonesia.
Beberapa yang perlu dipermasalahkan adalah belum harmonisnya peraturan lintas kementerian teknis yang mendukung kegiatan eksplorasi, konstruksi, produksi, jasa usaha pertambangan, dan pengiriman hasil produksi.
Misalnya, UU otonomi daerah belum dilaksanakan dengan baik terkait dengan pertambangan minerba. Hal ini masih ditambah benturan kewenangan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat sebagai akibat penerapan otonomi daerah, kata Poltak.
Dia menekanakan, masalah-masalah demikian menghambat gerak dan dinamika pelaku usaha pertambangan dalam mengembangkan amanat UU Minerba.
"Karenanya, kami harap pemerintah tegas mengeluarkan peraturan pelaksanaan lintas kementerian yang menjamin kepastian hukum dan kepastian berusaha. Aturan harus komprehensif, jelas, menjamin terlaksananya komunikasi antarinstansi sehingga mendukung kegiatan usaha pertambangan minerba," jelas Poltak.
KKLAP juga meminta pemerintah segera melakukan evaluasi dan pembenahan yang menyeluruh terhadap pelaksanaan UU Otonomi Daerah yang berkaitan dengan usaha pertambangan minerba.
"Agar pelaksanaan kebijakan peningkatan nilai tambah dapat berjalan dengan baik, maka perlu segera membangun dan menyediakan infrastruktur, energi, menerbitkan kebijakan insentif fiskal, serta keleluasaan pada pelaku indistri pertanbangan mineral," tandasnya.
Di tempat yang sama, Ketua APBI-ICMA Bob Kamandanu menyatakan satu hal lain yang harus dibenahi pemerintah adalah mengenai mekanisme dan transparansi renegosiasi Kontrak Karya dan PKP2B, yang disebabkan adanya pertentangan antara beberapa pasal di UU 4/2009.
"Ini sebaiknya segera ada terobosan kebijakan, mekanisme, dan transparansi negosiasinya," kata Bob.
"Segera juga ditetapkan wakil pemerintah yang berhak menetapkan keputusan final dalam renegosiasi KK," lanjutnya.
Koordinator KKLAP Irwandy Arif menyatakan, sebaiknya pemerintah juga melibatkan asosiasi pelaku usaha minerba secara intensif dalam menyusun kebijakan.
Dia mengaku, pihaknya akan menyerahkan semua substansi pernyataan bersama mereka itu ke instansi pemerintah, termasuk Istana Kepresidenan, dalam bentuk white paper.
Belum ada kejelasan Wilayah Pertambangan (WP) di daerah, membuat Komisi VII DPR RI melakukan kunjungan kerja di beberapa wilayah di Indonesia, salah satunya di Jawa Timur.
Saat di Surabaya, rombongan ini diterima oleh Wakil Gubernur Jatim, Saifullah Yusuf di kantor Gubernur Jatim, Senin (15/4/2013).
Usai melakukan pertemuan, Saifullah Yusuf atau biasa dipanggil Gus Ipul mengungkapkan belum ditetapkannya WP membawa dampak terhadap pembangunan infrastruktur di Jatim.
Sebab ini mengakibatkan bupati/walikota tidak bisa menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) sehingga menghambat pengusaha dalam memasok kebutuhan-kebutuhan pembangunan yang semakin melonjak tinggi, contohnya pembangunan jalan tol.
“Jalan tol ini memerlukan banyak sekali bahan pertambangan, seperti batu-batuan. Jika WP tidak ditetapkan, maka dikhawatirkan akan muncul hal-hal yang merugikan, yaitu semakin banyaknya penambangan liar” katanya.
Mantan menteri PDT ini menambahkan, kebutuhan bahan pertambangan yang semakin tinggi disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi Jatim yang dalam tiga tahun terakhir terus meningkat dan berada diatas rata-rata nasional.
Hal ini mengakibatkan banyak investor baik asing maupun dalam negeri yang tertarik menanamkan modal dan membangun pabrik di Jatim. Sehingga daerah-daerah industri di Jatim semakin bertambah, seperti di Jombang dan Mojokerto.
“Karena itu, kami harap dengan kunjungan Komisi VII DPR RI dapat mempercepat penetapan WP agar pembangunan-pembangunan di Jatim, khususnya industri semakin lancar,” tambahnya.
Sementara itu, Anggota Panja Minerba Komisi VII DPR RI Asfihani mengatakan, permasalahan WP merupakan hal yang sangat dinantikan oleh seluruh kepala daerah di Indonesia.
Oleh sebab itu, dalam dua tahun terakhir, pihaknya terus menggodok permasalahan tersebut bersama berbagai pihak terkait, yaitu kementrian ESDM dan Dirjen Mineral dan Batu bara untuk merumuskan penetapan WP, khususnya batu-batuan.
“Hasilnya, WP untuk batu-batuan telah ditetapkan dengan berbagai syarat yang harus dipenuhi. Sebab batu-batuan merupakan kebutuhan yang mendesak secara nasional. Sedangkan WP untuk mineral dan batu bara akan menyusul” ujarnya.
Sebagai tindak lanjutnya, ia meminta Wagub Jatim agar menyampaikan kepada bupati/walikota di Jatim untuk menerbitkan ijin setelah mendapat rekomendasi dari kementrian ESDM.
“Pengelolaan sumber daya alam tidak boleh dieksploitasi berlebihan karena berdampak pada lingkungan dan masa depan anak-anak kita. Saya himbau agar bupati/walikota untuk meminta rekomendasi WP sesuai kebutuhan” tegasnya.
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.