Salah satu permasalahan yang terjadi pada pengerjaan lapangan migas yakni masalah Penggadaan lahan. Namun, pengadaan lahan untuk kepentingan sektor minyak dan gas (migas) harus berdasarkan musyawarah mufakat.
"Agar semua unsur kepentingan terlindungi baik kepentingan pemilik tanah maupun instansi, yang memerlukan tanah maka harus tetap mengedepankan unsur musyawarah dan mufakat," kata Direktur eksekutif Iress Marwan Batubara, hari ini.
Dia menambahkan, pemerintah tidak boleh memaksakan kepentingan tanpa memperhatikan kepentingan pemilik tanah. Demikian juga dengan pemilik dari tanah tersebut.
"Dengan musyawarah yang baik, pengadaan lahan bisa saja dilakukan tanpa melewati batas waktu maksimal tadi. Itu tergantung dari bagaimana pemerintah mengkoordinir keinginan dari si pemilik tanah," jelasnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, ada beberapa hal juga yang harus diperhatikan dalam pengadaan lahan. Salah satu yang saat ini masih sulit dilakukan adalah jika menyangkut adat istiadat.
"Musyawarah juga bisa tidak valid jika sudah menyangkut adat istiadat. Contohnya di Bali, memiliki cadangan panas bumi yang besar tapi terhambat oleh adat istiadat setempat. Pemerintah tidak boleh memaksakan kehendaknya untuk mengambil lahan di sana meskipun tujuannya untuk kepentingan umum," kata dia.
Indonesia Mining Associatioan (IMA) meminta pemerintah segera membangun infrastruktur sebelum mewajibkan industri migas membangun pemurnian atau smelter untuk hasil tambang mineral.
Ketua Umum IMA, Martiono, menjelaskan pihaknya mengeluhkan lemahnya koordinasi Kementerian Lembaga (K/L) dalam menyusun regulasi di sektor pertambangan. Akibatnya justru menyulitkan para perusahaan di sektor tersebut.
"Apalagi pascapenerbitan undang-undang (UU) No. 4/2009 yang mengatur larangan ekspor mentah minerba dari tanah air. Pemerintah itu buat aturan tapi kewajibannya tidak dijalankan. Kalau mau dukung nilai tambah, tolong bantu kami di sektor infrastrukturnya," kata Martiono dalam pernyataan bersama komite kerja lintas asosiasi pertambangan di Jakarta, Senin (15/4/2013).
Martiono justru mengapresiasi K/L sewaktu terdahulu dalam mendorong PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) untuk melakukan nilai tambah. Pada tahun 1970-an empat departemen bergabung untuk memaksimalkan produksi alumina lewat PT Inalum.
"Dan itu berjalan bagus lintas sektor jalan semua. Departemen Keuangan urusin financing, Perindustrian untuk smelter, ESDM, dan Perdagangan juga menjadi peran penting di dalamnya. Saya lebih suka kebijakan pemerintah saat itu," tuturnya.
Karena itu, dia berharap, peran pemerintah dalam menerbitkan beleid untuk nilai tambah sektor tambang. Pengembangan smelter perlu kebijakan lintas sektoral yang meningkatkan infastruktur.
"Sampai saat ini kita tidak melihat pemerintah ke sana. Makanya kami sendiri dibuat bingung dengan kebijakan pemerintah. Satu sisi harus menjalankan amanat, namun di sisi lain industri dan infastrukturnya belum ada," katanya.
"Agar semua unsur kepentingan terlindungi baik kepentingan pemilik tanah maupun instansi, yang memerlukan tanah maka harus tetap mengedepankan unsur musyawarah dan mufakat," kata Direktur eksekutif Iress Marwan Batubara, hari ini.
Dia menambahkan, pemerintah tidak boleh memaksakan kepentingan tanpa memperhatikan kepentingan pemilik tanah. Demikian juga dengan pemilik dari tanah tersebut.
"Dengan musyawarah yang baik, pengadaan lahan bisa saja dilakukan tanpa melewati batas waktu maksimal tadi. Itu tergantung dari bagaimana pemerintah mengkoordinir keinginan dari si pemilik tanah," jelasnya.
Lebih lanjut dia menjelaskan, ada beberapa hal juga yang harus diperhatikan dalam pengadaan lahan. Salah satu yang saat ini masih sulit dilakukan adalah jika menyangkut adat istiadat.
"Musyawarah juga bisa tidak valid jika sudah menyangkut adat istiadat. Contohnya di Bali, memiliki cadangan panas bumi yang besar tapi terhambat oleh adat istiadat setempat. Pemerintah tidak boleh memaksakan kehendaknya untuk mengambil lahan di sana meskipun tujuannya untuk kepentingan umum," kata dia.
Indonesia Mining Associatioan (IMA) meminta pemerintah segera membangun infrastruktur sebelum mewajibkan industri migas membangun pemurnian atau smelter untuk hasil tambang mineral.
Ketua Umum IMA, Martiono, menjelaskan pihaknya mengeluhkan lemahnya koordinasi Kementerian Lembaga (K/L) dalam menyusun regulasi di sektor pertambangan. Akibatnya justru menyulitkan para perusahaan di sektor tersebut.
"Apalagi pascapenerbitan undang-undang (UU) No. 4/2009 yang mengatur larangan ekspor mentah minerba dari tanah air. Pemerintah itu buat aturan tapi kewajibannya tidak dijalankan. Kalau mau dukung nilai tambah, tolong bantu kami di sektor infrastrukturnya," kata Martiono dalam pernyataan bersama komite kerja lintas asosiasi pertambangan di Jakarta, Senin (15/4/2013).
Martiono justru mengapresiasi K/L sewaktu terdahulu dalam mendorong PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) untuk melakukan nilai tambah. Pada tahun 1970-an empat departemen bergabung untuk memaksimalkan produksi alumina lewat PT Inalum.
"Dan itu berjalan bagus lintas sektor jalan semua. Departemen Keuangan urusin financing, Perindustrian untuk smelter, ESDM, dan Perdagangan juga menjadi peran penting di dalamnya. Saya lebih suka kebijakan pemerintah saat itu," tuturnya.
Karena itu, dia berharap, peran pemerintah dalam menerbitkan beleid untuk nilai tambah sektor tambang. Pengembangan smelter perlu kebijakan lintas sektoral yang meningkatkan infastruktur.
"Sampai saat ini kita tidak melihat pemerintah ke sana. Makanya kami sendiri dibuat bingung dengan kebijakan pemerintah. Satu sisi harus menjalankan amanat, namun di sisi lain industri dan infastrukturnya belum ada," katanya.
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.