SUBANG (GM) - Sedikitnya 500 galian C di
wilayah Jabar saat ini tidak mengantongi izin untuk beroperasi atau
ilegal. Kondisi itu terjadi sejak Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) mengeluarkan surat edaran yang menyatakan, penerbitan
izin usaha pertambangan diberhentikan sebelum ditetapkannya wilayah
pertambangan.
Sehubungan hal itu, sejumlah pemerintah daerah, termasuk Pemkab Subang mendesak pemerintah pusat melalui DPR RI untuk memberikan dispensasi pemberian izin. Pasalnya, hal itu menghambat pembangunan di daerah.
"Kita memang mendesak untuk diberi dispensasi pemberian izin. Tidak hanya kami, tetapi hampir seluruh kabupaten yang memiliki potensi pertambangan. Soalnya selain menjadi tidak ada pemasukan dari sektor pertambangan, galian C ilegal itu menyebabkan pembangunan terhambat," kata Bupati Subang, H. Ojang Sohandi didampingi Sekda H. Abdurrakhman dan Kadis Pertambangan Energi dan Mineral Kab. Subang, Ir. H. Besta Besuki, usai menerima kunjungan anggota Komisi VII DPR RI dan Dirjen Pertambangan Kementerian ESDM di ruang rapat bupati, Senin (8/4).
Disebutkan, surat edaran itu sangat berpengaruh terhadap pembangunan yang sedang berjalan di Kabupaten Subang. Bukan hanya untuk proyek nasional seperti jalan Tol Cipali, tetapi juga pembangunan masyarakat yang membutuhkan material galian C.
"Sementara kita sudah memiliki Perda RTRW dan titik wilayahnya. Di lain pihak munculnya angkutan galian C mempercepat kerusakan infrastruktur sehingga bila tidak ada pendapatan bagaimana memperbaikinya," jelas Bupati. Ia juga menambahkan, pihaknya melayangkan surat permohonan ke Kementerian ESDM untuk diberi dispensasi.
Banyak kebutuhan
Kepala Bidang Mineral Geologi dan Air Tanah Distamben Provinsi Jabar, Tatang Effendy membenarkan hal itu. Undang-undang dan aturan baru soal pertambangan yang masih belum tuntas sangat berdampak bagi kabupaten yang memiliki potensi.
"Tidak hanya itu, diperkirakan muncul galian ilegal di 500 tempat, sementara yang berizin hanya 311 untuk galian C. Padahal kebutuhan bukan logam dan batuan sangat banyak serta tidak bisa dipenuhi," ujarnya.
Ia mengatakan, pihaknya sudah berkali-kali melakukan upaya penertiban galian C ilegal. Namun hal itu sangat sulit dilakukan mengingat luasnya wilayah. Terlebih, lokasi penambangan liar berada jauh dari keramaian serta bersinggungan dengan kebutuhan isi perut. "Begitu ditutup, beberapa saat kemudian kembali buka dan berpindah tempat," ungkapnya.
Dikatakannya, saat ini kebutuhan tanah urukan saja mencapai 200 juta m3, batu andesit 42 juta m3, dan pasir 80 juta m3. Semua itu untuk berbagai proyek berskala besar, belum termasuk kebutuhan rumah tangga. "Angka ini untuk proyek Bandung Raya, Metropolitan Cirebon Raya, Growth Pelabuhan Ratu, dan Metropolitan Betabek Karpuri," tambah Tatang.
Klarifikasi
Anggota Komisi VII DPRI, Satya Yudha, yang didampingi Bobby Adi dan Nazarudin Kemas menyatakan, pihaknya sudah berusaha memperjuangkan keinginan ratusan daerah penghasil bahan bangunan. "Kita datang ke sini bersama dari kementerian ingin meyakinkan dan mengklarifikasi permohonannya. Jangan sampai sebaliknya, muncul kerusakan lingkungan karena tidak ada pemetaan dan perhitungan kebutuhannya terlebih dulu," katanya.
Hal senada dikatakan perwakilan dari Kementerian ESDM, Bismar. Setelah melakukan pembicaraan dengan DPR RI berkaitan dengan kebutuhan material pembangunan dari pertambahan, akhirnya terseleksi ada 72 daerah di Lampung, Banten, dan Jabar, termasuk Subang yang dipertimbangkan mendapat dispensasi.
"Hanya ada beberapa daerah yang ternyata masih minim, bahkan tidak ada data kebutuhannya, terutama untuk pembangunan nasional," ungkapnya.
Sehubungan hal itu, sejumlah pemerintah daerah, termasuk Pemkab Subang mendesak pemerintah pusat melalui DPR RI untuk memberikan dispensasi pemberian izin. Pasalnya, hal itu menghambat pembangunan di daerah.
"Kita memang mendesak untuk diberi dispensasi pemberian izin. Tidak hanya kami, tetapi hampir seluruh kabupaten yang memiliki potensi pertambangan. Soalnya selain menjadi tidak ada pemasukan dari sektor pertambangan, galian C ilegal itu menyebabkan pembangunan terhambat," kata Bupati Subang, H. Ojang Sohandi didampingi Sekda H. Abdurrakhman dan Kadis Pertambangan Energi dan Mineral Kab. Subang, Ir. H. Besta Besuki, usai menerima kunjungan anggota Komisi VII DPR RI dan Dirjen Pertambangan Kementerian ESDM di ruang rapat bupati, Senin (8/4).
Disebutkan, surat edaran itu sangat berpengaruh terhadap pembangunan yang sedang berjalan di Kabupaten Subang. Bukan hanya untuk proyek nasional seperti jalan Tol Cipali, tetapi juga pembangunan masyarakat yang membutuhkan material galian C.
"Sementara kita sudah memiliki Perda RTRW dan titik wilayahnya. Di lain pihak munculnya angkutan galian C mempercepat kerusakan infrastruktur sehingga bila tidak ada pendapatan bagaimana memperbaikinya," jelas Bupati. Ia juga menambahkan, pihaknya melayangkan surat permohonan ke Kementerian ESDM untuk diberi dispensasi.
Banyak kebutuhan
Kepala Bidang Mineral Geologi dan Air Tanah Distamben Provinsi Jabar, Tatang Effendy membenarkan hal itu. Undang-undang dan aturan baru soal pertambangan yang masih belum tuntas sangat berdampak bagi kabupaten yang memiliki potensi.
"Tidak hanya itu, diperkirakan muncul galian ilegal di 500 tempat, sementara yang berizin hanya 311 untuk galian C. Padahal kebutuhan bukan logam dan batuan sangat banyak serta tidak bisa dipenuhi," ujarnya.
Ia mengatakan, pihaknya sudah berkali-kali melakukan upaya penertiban galian C ilegal. Namun hal itu sangat sulit dilakukan mengingat luasnya wilayah. Terlebih, lokasi penambangan liar berada jauh dari keramaian serta bersinggungan dengan kebutuhan isi perut. "Begitu ditutup, beberapa saat kemudian kembali buka dan berpindah tempat," ungkapnya.
Dikatakannya, saat ini kebutuhan tanah urukan saja mencapai 200 juta m3, batu andesit 42 juta m3, dan pasir 80 juta m3. Semua itu untuk berbagai proyek berskala besar, belum termasuk kebutuhan rumah tangga. "Angka ini untuk proyek Bandung Raya, Metropolitan Cirebon Raya, Growth Pelabuhan Ratu, dan Metropolitan Betabek Karpuri," tambah Tatang.
Klarifikasi
Anggota Komisi VII DPRI, Satya Yudha, yang didampingi Bobby Adi dan Nazarudin Kemas menyatakan, pihaknya sudah berusaha memperjuangkan keinginan ratusan daerah penghasil bahan bangunan. "Kita datang ke sini bersama dari kementerian ingin meyakinkan dan mengklarifikasi permohonannya. Jangan sampai sebaliknya, muncul kerusakan lingkungan karena tidak ada pemetaan dan perhitungan kebutuhannya terlebih dulu," katanya.
Hal senada dikatakan perwakilan dari Kementerian ESDM, Bismar. Setelah melakukan pembicaraan dengan DPR RI berkaitan dengan kebutuhan material pembangunan dari pertambahan, akhirnya terseleksi ada 72 daerah di Lampung, Banten, dan Jabar, termasuk Subang yang dipertimbangkan mendapat dispensasi.
"Hanya ada beberapa daerah yang ternyata masih minim, bahkan tidak ada data kebutuhannya, terutama untuk pembangunan nasional," ungkapnya.
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.