Namun jauh sebelum Belanda datang, Nusantara sudah terkenal akan
kekayaan emasnya. Emas sebagai salah satu komoditas tambang sudah
dikenal dan diusahakan di Nusantara sejak lebih dari seribu tahun yang
lalu. Selain situs tambang, banyak artefak yang ditemukan para arkeolog
yang terbuat dari emas, baik berupa mahkota, perlengkapan peribadatan,
perhiasan, hingga peralatan sehari-hari. Mitos atau legenda dengan emas
menjadi bagian dari kisahnya, masih dituturkan hingga kini. Secara
empiris hal tersebut membuktikan bahwa sejak dahulu, beberapa daerah di
negri ini pernah menjadi pusat penambangan emas, pengrajin emas, hingga perdagangan emas.
Tambang Salida
Pusat tambang emas tertua Nusantara diantaranya berada di Sumatera.
Menurut M.J. Crow dan T.M. van Leeuwen, jalur emas Sumatra berhimpitan
dengan garis patahan karena adanya peristiwa geologi. Proses
mineralisasi emas ini terjadi berbarengan dengan munculnya basur magma
sepanjang Bukit Barisan. Interaksi magma dengan batuan dasar pada
tekanan tertentu sehingga membentuk zona ubahan pada batuan induk lava
dan tufa yang kemudian berperan sebagai batuan induk kaya mineral ( host
rock ), termasuk emas. Logam mulia tersebut banyak ditemukan disekitar
kawasan Bukit Barisan seperti Martabe, Rawas, Bangko, Lebong, dan
Mandailing. Hal ini menjadikan pulau Sumatra terkenal dengan sebutan
SWARNADWIPA. Yang dalam bahasa Sanskerta berarti "Pulau Emas" seperti
yang tertera pada prasasti Nalanda, tahun 860 Masehi.
Perdagangan emas di pulau ini telah berlangsung lama. Berita mengenai Pulau Emas sudah sampai ke Eropa melalui cerita-cerita para pelaut Arab. Penyair Portugis yang terkenal, Luiz de Camoens (1524-1580), menulis sebuah puisi epik "Os Lusiadas" (1572), tentang Gunung Ophir di Pasaman yang kaya emas, yang diperdagangkan oleh penduduk lokal dengan orang asing. Melalui catatan Tome Pirse, seorang petualang di awal abad 16 telah diketahui bahwa emas telah diperdagangkan di seluruh kota pelabuhan di Sumatera terutama Barus. Bahkan jauh sebelum itu, melalui tulisan Ptolomeus dalam Geographia pada awal abad ke-2, disebutkan bahwa pelabuhan tua di pantai barat Sumatra Utara tersebut, emas telah menjadi salah satu komoditas utama yang diperdagangkan selain kapur barus. Emas yang diperdagangkan tersebut diperkirakan berasal dari sungai-sungai yang berhulu di sekitar Bukit Barisan.
Sebuah batu bertuliskan huruf Hindi yang berasal dari peradaban Hindu-Budha dari kerajaan Sriwijaya dan Melayu menceritakan bahwa “Sultan Sungai Emas” mengekspor emasnya kehilir melalui sungai Indragiri dan Siak yang mengalir dari tanah tinggi Sumatera Barat ke pantai barat Sumatera. Disebut pula bahwa orang Minang yang pertama kali menempati jantung kerajaan Sriwijaya di sekitar Palembang. Kerajaan Minangkabau yang kaya dengan emas merupakan pendukung dari Kerajaan Sriwijaya abad ke 7 pada masa kejayaan agama Budha.
Hingga awal abad ke-17 tambang-tambang di daerah Minangkabau merupakan daerah yang paling kaya akan emas di seluruh kawasan itu. Emas ditambang dari sungai-sungai di sebelah timur dan ditambang-tambang bukit Minangkabau. Dikabarkan bahwa pernah terdapat 1200 tambang emas di sana (Marsden 1783: 168; cf. Eredia 1600: 238-239).
Melalui perjanjian Painan, pada tahun 1662 VOC mendapat konsesi untuk berdagang di pantai barat Sumatra. VOC mulai mengeksploitasi kandungan emas Salida pada tahun 1669 semasa jabatan commandeur VOC ketiga untuk pos Padang; Jacob Joriszoon Pit (1667-23 Mei 1678). Dua ahli tambang pertama yang didatangkan ke Salida bernama Nicolaas Frederich Fisher dan Johan de Graf yang berasal dari Hongaria.
Selama 150 tahun beroperasinya Tambang Salida tidak banyak yang diketahui orang mengenai tambang itu sampai kemudian Verbeek menerbitkan bukunya, Nota over de verrichtingen der Oost-Indische Compagnie bij de ontginning der goud- en zilveraders te Salida op Sumatras Westkust [Catatan tentang tindakan VOC mulai menggarap sumber emas dan perak di Salida, Sumatra Barat] (1886).
Perdagangan emas di pulau ini telah berlangsung lama. Berita mengenai Pulau Emas sudah sampai ke Eropa melalui cerita-cerita para pelaut Arab. Penyair Portugis yang terkenal, Luiz de Camoens (1524-1580), menulis sebuah puisi epik "Os Lusiadas" (1572), tentang Gunung Ophir di Pasaman yang kaya emas, yang diperdagangkan oleh penduduk lokal dengan orang asing. Melalui catatan Tome Pirse, seorang petualang di awal abad 16 telah diketahui bahwa emas telah diperdagangkan di seluruh kota pelabuhan di Sumatera terutama Barus. Bahkan jauh sebelum itu, melalui tulisan Ptolomeus dalam Geographia pada awal abad ke-2, disebutkan bahwa pelabuhan tua di pantai barat Sumatra Utara tersebut, emas telah menjadi salah satu komoditas utama yang diperdagangkan selain kapur barus. Emas yang diperdagangkan tersebut diperkirakan berasal dari sungai-sungai yang berhulu di sekitar Bukit Barisan.
Sebuah batu bertuliskan huruf Hindi yang berasal dari peradaban Hindu-Budha dari kerajaan Sriwijaya dan Melayu menceritakan bahwa “Sultan Sungai Emas” mengekspor emasnya kehilir melalui sungai Indragiri dan Siak yang mengalir dari tanah tinggi Sumatera Barat ke pantai barat Sumatera. Disebut pula bahwa orang Minang yang pertama kali menempati jantung kerajaan Sriwijaya di sekitar Palembang. Kerajaan Minangkabau yang kaya dengan emas merupakan pendukung dari Kerajaan Sriwijaya abad ke 7 pada masa kejayaan agama Budha.
Hingga awal abad ke-17 tambang-tambang di daerah Minangkabau merupakan daerah yang paling kaya akan emas di seluruh kawasan itu. Emas ditambang dari sungai-sungai di sebelah timur dan ditambang-tambang bukit Minangkabau. Dikabarkan bahwa pernah terdapat 1200 tambang emas di sana (Marsden 1783: 168; cf. Eredia 1600: 238-239).
Melalui perjanjian Painan, pada tahun 1662 VOC mendapat konsesi untuk berdagang di pantai barat Sumatra. VOC mulai mengeksploitasi kandungan emas Salida pada tahun 1669 semasa jabatan commandeur VOC ketiga untuk pos Padang; Jacob Joriszoon Pit (1667-23 Mei 1678). Dua ahli tambang pertama yang didatangkan ke Salida bernama Nicolaas Frederich Fisher dan Johan de Graf yang berasal dari Hongaria.
Selama 150 tahun beroperasinya Tambang Salida tidak banyak yang diketahui orang mengenai tambang itu sampai kemudian Verbeek menerbitkan bukunya, Nota over de verrichtingen der Oost-Indische Compagnie bij de ontginning der goud- en zilveraders te Salida op Sumatras Westkust [Catatan tentang tindakan VOC mulai menggarap sumber emas dan perak di Salida, Sumatra Barat] (1886).
Tambang Lebong
Perusahaan tambang Belanda, baik milik pemerintah maupun swasta baru
mulai melakukan kegiatan penambangan di Bengkulu setelah ditemukannya
formasi Lebong pada tahun 1890. Penambangan emas yang tertua diantaranya
dilakukan oleh perusahaan Mijnbouw Maatschappij Redjang Lebong dan
Mijnbouw Maatschappij Simau berada di Lebong, Bengkulu. Kedua perusahaan
itu merupakan penyumbang terbesar ekspor emas perak Hindia Belanda.
Misalnya, pada tahun 1919 perusahaan Mijnbouw Maatschappij Redjang
Lebong menghasilkan 659 kg/emas dan 3.859 kg/perak, dan perusahaan
Mijnbouw Maatschappij Simau menghasilkan 1.111 kg/emas dan 8.836
kg/perak. Setidaknya dua perusahaan ini berhasil meraup 130 ton emas
selama berproduksi kurang dari setengah abad (1896-1941)
Jejak-jejak sisa penambangan yang dilakukan Belanda di Bengkulu masih dapat ditemui di Ulu Ketenong, Tambang Sawah, Lebong Donok, Lebong Simpang, Lebong Tandai.
Jejak-jejak sisa penambangan yang dilakukan Belanda di Bengkulu masih dapat ditemui di Ulu Ketenong, Tambang Sawah, Lebong Donok, Lebong Simpang, Lebong Tandai.
Tambang Singkawang
Kota Singkawang yang penduduknya mayoritas keturunan Cina, leluhurnya
adalah pekerja tambang emas imigran dari Cina. Kota Singkawang dulunya
merupakan sebuah desa bagian dari wilayah kerajaan Sambas, Desa
Singkawang sebagai tempat singgah para pedagang dan penambang emas dari
Monterado. Sejarah kedatangan orang-orang Cina berawal dari potensi
daerah-daerah di wilayah Kerajaan Sambas yang banyak mengandung emas.
Sejak Kesultanan Sambas, tambang emas ini merupakan sumber penghasilan
kesultanan. Pada 1760 Sultan Umar Akamudin II mendatangkan orang-orang
sebagai pekerja tambang di daerah Sambas, Bengkayang, dan Montrado untuk
meningkatkan hasil pertambangan emas. Kebijakan Sultan Sambas ini, di
samping telah meningkatkan hasil emas bagi Kesultanan Sambas, juga
menyebabkan gelombang masuknya ribuan imigran ke daerah itu. Para
imigran ini mendirikan kongsi-kongsi pekerja tambang, semacam koloni
Cina yang mengatur pemerintahan dan perdagangan.
Tambang Cikotok
Cikotok telah ditemukan sejak tahun 1839 yang kemudian
dieksploitasi mulai tahun 1936 oleh perusahaan Belanda N.V. Mijnbauw
Maatschapij Zuid Bantam (MMZB). Pada 1939 hingga tahun 1942 terpaksa
terhenti akibat terjadinya Perang Dunia II. Selama pendudukan Jepang
1942 – 1945, kegiatan tambang dikerjakan oleh perusahaan Jepang Mitsui
Kosha Kabushiki Kaisha tetapi tidak menambang emas melainkan timah hitam
timbal (Pb) di Cirotan untuk keperluan produksi amunisi. Pada masa
pemerintahan Sukarno tahun 1958, tambang emas Cikotok diresmikan dan
dikerjakan oleh NV Tambang Emas Tjikotok (TMT) yang berada di bawah
manajemen NV Perusahaan Pembangunan Pertambangan (P3). Setelah beberapa
kali berganti induk perusahaan, pada tanggal 5 Juli 1968 tambang emas
Cikotok dikelola oleh PN Aneka Tambang (BUMN) yang lalu berubah menjadi
PT Aneka Tambang sejak 1974 dan sekarang kemudian dikenal sebagai PT
Antam.
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.